Minggu, 18 Desember 2011

Sejarah ulumul hadits

SEJARAH ULUMUL HADITS

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

ILMU HADITS”






Disusun Oleh:

Rofita Tri Wahyuni








Dosen Pembimbing

Drs. H. A. Faisal Munib








JURUSAN EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS SUNAN GIRI

SURABAYA

2010


KATA PENGANTAR


Puji syukur atas kehadirat tuhan YME, karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan tugas makalah “Sejarah Ulumul Hadits” ini dengan baik dan lancar. Tidak lupa pula saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. H. A. Faisal Munib selaku dosen pembimbing.
Saya sebagai manusia biasa yang tak luput dari kekurangan dan kekhilafan, saya mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun sangat kami harapkan agar dalam pembuatan makalah berikutnya dapat lebih baik lagi.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semuanya, Amin ya robbal alamin.









Surabaya, 11 Januari 2011


penyusun



























1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 1

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 2

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ........................................................................................ 3
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................... 3

BAB II
PEMBAHASAN
1. Tahap Pertama: kelahiran Ilmu Hadits ................................................................. 4
2. Tahap Kedua: Tahap Penyempurnaan .................................................................. 7
3. Tahap Ketiga: Tahap Pembukuan Ilmu
Hadits Secara Terpisah ......................................................................................... 7
4. Tahap Keempat: Penyusuna Kitab-kitab
Induk 'Ulum al-Hadits dan Penyebarannya .......................................................... 7
5. Tahap Kelima: Kematangan dan
Kesempurnaan Pembukuan 'Ulum al-Hadits ........................................................ 8
6. Tahap Keenam: Masa Kebekuan dan
Kejumudan ............................................................................................................ 9
7. Tahap Ketujuh: Kebangkitan Kedua ..................................................................... 9

BAB III
KESIMPULAN .................................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 12






















2
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Di samping al-Quran, hadits Nabi merupakan sumber ajaran agama islam. Dilihat dari periwayatannya hadits Nabi berbeda dengan al-Quran, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawattir, sedang untuk hadits Nabi sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Kitab-kitab hadits yang beredar ditengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat islam dalam hubungannya dengan hadits sebagai sumber agama islam tersebut adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi wafat (11H / 632M).
Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadits tersebut, terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadits itu menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi. Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadits yang terhimpun dalam kitab-kitab tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian.
Ilmu mushthalah al-hadist telah melalui tahap-tahap perkembangannya dalam sejarah berdasarkan pengamatan sejarah telah ditemukan gagasan baru, betapa perlunya diadakan penelitian historis terhadap ilmu-ilmu hadist guna menjelaskan tahap-tahap perkembangannya hingga dewasa ini. Kesimpulan yang didapat menunjukkan adanya tahap-tahap perkembangan ilmu hadits ini yang belum pernah dijadikan landasan penelitian historis terhadapnya oleh peneliti terdahulu. Tahap-tahap tersebut ada tujuh.
Tahap-tahap tersebut akan dibahas didalam makalah ini, yang mana nantinya pembaca akan mengerti tahap-tahap ilmu hadits dari zaman dahulu hingga sekarang.



B.Rumusan Masalah
  1. Ada berapa tahapan dalam perkembangan ilmu hadits?
  2. Apa saja tahap-tahap perkembangan ilmu hadits?
  3. Bagaimana para sahabat atau ulama menjaga keaslian dari hadits Nabi?




















3
BAB II
PEMBAHASAN


TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN ILMU HADITS
Tahap-tahap perrkembangan ilmu hadits ada tujuh yang secara singkat kami uraikan berikut ini:

1.TAHAP PERTAMA, KELAHIRAN ILMU HADITS
Tahap ini berlangsung pada masa sahabat sampai penghujung abad pertama hijrah. Ketika Nabi saw wafat, maka para sahabatlah yang membawa panji-panji islam. Kafilah ini berjalan mengawalinya demi menyelamatkan kemanusiaan dan menyampaikan segala sesuatu yang diajarkan oleh Rasul saw. Waktu itu mereka telah hapal al-quran dengan sempurna seperti halnya mereka menguasai dan memelihara hadits Nabi.

a. Faktor Pendukung Pemeliharaan Hadits
Di antara faktor pendukung pemeliharaan hadits yang terpenting adalah sebagai berikut:

  • Kejernihan hati dan kuatnya daya hapal
Bangsa Arab dahulunya adalah umat ummi, tidak dapat membaca dan menulis. Mereka hanya mengandalkan ingatan, dan ingatan itu akan berkembang dan semakin kuat bila dipergunakan setiap diperlukan. Kesederhanaan kehidupan dan jauhnya mereka dari hiruk-pikuk peradaban kota dengan segala problematikanya menjadikan mereka berhati jernih. Karena itu mereka dikenal sebagai bangsa yang kuat daya hapalnya yang sulit dicari tandingannya dan kecerdasan mereka sangat mengagumkan. Mereka dapat menghafal nasab-nasab mereka meskipun panjang dan berantai ke beberapa generasi. Dengan sekali dengar mereka dapat menghafal syair-syair yang panjang, khutbah, dan lainnya sebagaimana tercatat dalam sejarah. Ini merupakan suatu kebanggaan yang tidak pernah dimiliki oleh umat lain.
  • Minat yang kuat terhadap agama
Bangsa Arab yakin bahwa tidak ada kebahagiaan di dunia dan keberuntungan di akhirat, dan tidak ada jalan menuju kemuliaan dan kedudukan terhormat di antara umat lain kecuali dengan agama islam ini. Karena itu mereka mempelajari hadits Nabi dengan penuh perhatian.
Minat seperti ini diperkuat dengan imbauan Rasulullah saw. Kepada mereka agar menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain. Imbauan tersebut terdapat dalam banyak hadits, dan hal ini menunjukkan betapa besar perhatian beliau terhadap penghapalan dan penyampaian hadits. Misalnya hadits Zaid bin Tsabit, katanya:
“Saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda:
Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar ucapanku lalu menyampaikannya. Mungkin saja orang yang membaca (informasi) fiqh itu bukan orang faqih, dan bisa saja orang yang membaca (informasi) fiqh menyampaikannya kepada orang yang lebih faqih daripadanya. (HR Abu Dawud, Al-Turmudzi, dan Ibnu Majah)
Dengan demikian, pemeliharaan hadits itu wajib hukumnya, agar umat islam bebas dari tuntutan penyampaiannya yang telah diperintahkan Rasulullah saw.
  • Kedudukan hadits dalam agama islam
Sebagaimana telah maklum bahwa hadits merupakan sendi asasi yang tekah membentuk pola pikir para sahabat serta sikap perbuatan dan etika mereka. Sebab mereka senantiasa ikut dan tunduk kepada Rasulullah saw. dalam segala hal. Setiap kali mereka mendapatkan suatu kalimat dari Nabi saw maka kalimat itu akan mendarah daging dan menjelma dalam perilaku mereka.
  • Nabi tahu bahwa para sahabat akan menjadi pengganti beliau dalam mengemban amanah dan menyampaikan risalah.
Beliau menempuh beberapa metode dalam menyampaikan hadits kepada mereka dan menempuh jalan hikmah agar mereka benar-benar mampu mengemban tanggung jawab.
4
Di antara cara beliau berbicara adalah:
*)Beliau tidak menyampaikan hadits secara beruntun, melainkan sedikit demi sedikit, agar dapat meresap dalam hati.
*)Beliau tidak berbicara dengan panjang lebar, melainkan dengan sederhana
*)Nabi seringkali mengulangi pembicaraannya agar dapat ditangkapoleh hati orang-orang yang mendengarnya.
  • Cara Nabi saw menyampaikan hadits
Rasulullah saw telah dianugerahi kemampuan yang jarang dimiliki orang lain dalam menjelaskan suatu masalah. Karena itu Alquran menyebut hadits sebagai al-Hikmah.
Tidak diragukan lagi bahwa penjelasan yang baliqh akan dapat menguasai hati orang yang mendengarnya, sebagaimana akan mengaliri dan membasahi rasio dan emosi. Lalu bagaimana orang yang mendengarnya itu adalah orang yang menguasai balaghah, cerdas, dan sangat besar cintanya kepada pembicaranya.
  • Penulisan hadits
Penulisan adalah suatu media terpenting bagi pemeliharaan ilmu pengetahuan dan penyebarannya kepada masyarakat luas. Tidak terkecuali ini sudah menjadi suatu media dalam upaya pemeliharaan hadits, meskipun dalam hal ini terdapat sejumlah riwayat yang berbeda dan pandangan yang beraneka ragam. Berkenaan dengan penulisan hadits telah lahir sejumlah kitab, baikdi zaman dahulu maupun di zaman belakangan.
Diriwayatkan dalam shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Tidak seorang pun dari sahabat Nabi yang lebih banyak dariku dalam meriwayatkan hadits, kecuali Abdullah bin 'Amr. Dahulunya ia menulis sedangkan aku tidak.”
Riwayat lain dalam Sunan Abi Daud dan al-Musnad dari Abdullah bin 'Amr, beliau berkata; “Saya telah menulis segala apa yang aku dengar dari Rasulullah saw untuk aku hafalkan. Maka orang-orang Quraisy melarangku dengan berkata: apakah kamumenulis segala sesuatu sedangkan Rasulullah saw itu adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah. Maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya kepada Rasulullah saw. Sambil menunjuk mulutnya, beliau berkata:
Tulislah! Demi Dzat jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya kecuali yang hak.”
Penulisan hadits itu melalui dua tahap, yaitu: Tahap pertama, penghimpunan hadits dalam lembaran-lembaran untuk kepentingan para penulisnya secara pribadi. Tahap ini bermula ketika rasul masih hidup dan atas izinnya. Tahap kedua, penulisan hadits dengan tujuan untuk dijadikan sebagai referensi yang akan diedarkan kepada masyarakat umum. Tahap ini bermula pada abad kedua Hijriah.

b. Pedoman Periwayatan Hadits pada Masa Sahabat
Para sahabat adalah penyambung lidah Rasulullah saw. Untuk melaksanakan tugas itu mereka mengerahkan seluruh kemampuan manusiawinya, dengan tetap tidak melalaikan suatu perkara yang sangat mulia, yaitu memelihara peninggalan beliau dari berbagai perubahan. Faktor-faktor pendukung pemeliharaan hadits sebagaimana telah disebutkan merupakan “mukjizat” yang menjadikan pemeliharaan mereka tangguh dalam menghadapi berbagai peristiwa dan mengarungi laut kehidupan yang pasang surut, sehingga hadits Nabi terselamatkan dari berbagai kebatilan yang hendak menyerangnya dari berbagai penjuru. Faktor-faktor tersebut mengandung kebaikan yang telah ditunjukkan kepada mereka dan menjadi pedoman bagi para ulama tentang cara memelihara peninggalan Nabi itu.
Berikut ini beberapa strategi syari'ah dalam menetapkan dasar-dasar periwayatan dan kaidah-kaidah ilmu periwayatan uang shahih yangharus ditempuh sebagai pedoman yang dapat diikuti. Allah swt berfirman:
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (QS An-Nahl 16:105)

5
Rasulullah saw bersabda:
Barang siapa sengaja berdusta atasku, maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya dineraka.”

Allah berfirman tentang keharusan berhati-hati:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” (QS Al-Israa 17:36)

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti......” (QS Al-Hujarat 49:6)

Bahkan Rasulullah saw membebankan dosa pembuat hadits palsu kepada seseorang yang ikut meriwayatkannya. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits sahih yang masyhur, bahwa beliau bersabda:
Barang siapa meriwayatkan suatu hadits dariku yang ia ketahui bahwa hadits itu palsu, maka ia termasuk orang-orang pendusta.”

Dari ayat dan hadits diatas dapat diambil prinsip-prinsip kaidah periwayatan yang menopang kelangsungan pemeliharaan hadits. Pada waktu itu manusia berada dalam puncak keadilannya, sehingga tidak membutuhkan jarh wa ta'dil, karena waktu ituadalah periode sahabat yang semuanya adalah orang-orang adil dan karenanya tidak dibutuhkan banyak kecurigaan.
Oleh karena itu mereka menggunakan kaidah periwayatan hadits yang sangat sederhana, sesuai dengan kebutuhan waktu itu, untuk memastikan keshahihan riwayat dan menjauhi kesalahan. Kemudian kaidah ini senantiasa berkembang sejajalan dengan perkembangan zaman hingga mencapai puncaknya.

c. Pedoman Periwayatan Hadits yang Terpenting pada Masa Sahabat
  • Penyedikitan riwayat dari Rasulullah saw
  • Berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan hadits
  • Pengujian terhadap setiap riwayat

d. Munculnya Pemalsuan Hadits dan Langkah-Langkah Pemberantasannya
Pada akhir pemerintahan utsman timbullah bencana besar di kalangan umat islam hingga mengakibatkan terbunuhnya al-Imam al-Syahid Utsman bin Affan dan al-Imam al-Husain r.a. Beberapa kelompok penyeleweng muncul, dan orang-orang ahli bid'ah pun membuat sanad-sanad semaunya untuk menyandarkan sejumlah teks hadits yang mereka pegangi untuk membela bid'ahnya. Kemudian mereka membuat hadits-hadits yang tidak pernah diucapkan Rasulullah saw. Periode itu kemudian dikenal sebagai awal munculnya pemalsuan hadits.
Karenanya para sahabat terpanggil untuk memelihara hadits, lalu mengadakan penelitian dan pembahasan dengan amat cermat. Diantara usaha mereka adalah:
  • Mencari sanad hadits dan meneliti karakteristik para rawinya, padahal sebelum itu mereka saling percaya dalam menerima hadits.
  • Mengimbau agar setiap orang berhati-hati dalam menerima hadits dan tidak menerimanya kecuali dari orang yang dapat dipercaya keagamaannya, kewara'annya, hapalannya, dan ketetapannya.
  • Mereka menempuh jalan jauh sekedar untuk mendengar hadits tertentu dari orang yang mendengarnya langsung dari Rasulullah dan untuk mengetahui karakteristik rawi yang bersangkutan.
  • Mereka membandingkan setiap hadits yang diriwayatkan dengan hadits riwayat orang lain yang lebih dikenal kuat hapalannya dan lebih dapat dipercaya, demi mengetahui kepalsuan
6
atau kelemahannya.


2. Tahap Kedua: Tahap Penyempurnaan
Pada tahap ini ilmu hadits mencapai titik kesempurnaannnya, karena setiap cabangnya dapat berdiri sendiri dan sejalan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan dipergunakan oleh para ulama. Tahap ini berlangsung dari awal abad kedua sampai awal abad ketiga, yaang antara lain ditandai dengan sejumlah peristiwa yang menonjol:
a) Melemahnya daya hapal dikalangan umat islam, sebagaimana disebutkan oleh al-Dzahabi dalam kitab Tadzkirat al-Huffazh.
b) Panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadits, lantaran bentangan jarak waktu dan semakin banyaknya rawi.
c) Munclnya sejumlah kelompok umat islam yang menyimpang dari jalan kebenaran yang ditempuh para sahabat dan tabi'in.oleh karena itu, para imam umat islam bangkit untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan langkah yang dapat menutup pengaruh yang mungkin timbul. Antara lain adalah:
  • Pembukuan hadits secara resmi
  • Sikap para ulama yang lebih kritis terhadap para rawi hadits dalam upaya jarh wa ta'dil.
  • Sikap tawaqquf (tidak menolak dan tidak menerima) bila mendapat hadist dari seseorang yang tidak mereka kenal sebagai ahli hadits.
  • Sikap menelusuri sejumlah hadits untuk mengungkapkan kecacatan yang mungkin tersembunyi didalamnya;lalu untuk setiap hal yang baru mereka membuat kaidah dan formula khusus dalam upaya mengenalkannya.

3. Tahap Ketiga: Tahap Pembukuan Ilmu Hadits Secara Terpisah
Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat hijriah.abad ketiga merupakan masa pembukuan hadits dan merupakan zaman keemasan sunnah, sebab dalam abad inilah sunnah dan ilmu-ilmunya dibukukan dengan sempurna.
Tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan hadits Rasul secara khusus. Untuk itu mereka susun kitaab-kitab musnad untuk menghimpun hadits Rasul yang mereka kelompokkan berdasarkan nama-nama sahabat, sehingga hadits-hadits yang diriwayatkan dari abu bakar -misalnya- dikumpulkan dalam satu tempatdengan judul Musnad Abu Bakar, demikian pula hadits-hadits Umar dan sebagainya.
Kemudian datanglah al-Bukhari dengan inisiatif baru, yakni membukukan hadits-hadits sahih secara khususdan disusun berdasarkan bab-bab tertentu, agar mudah dicari dan dipahami hadits-haditsnya. Kitab yang disusunnya diberi nama al-Jami' ash-Shahih. Berikutnya datanglah imam enam lainnya yang tiada lain adalah murid-muridnya, kecuali an-Nasai. Mereka menyusun kitab masing- masing berdasarkan bab-bab fiqih dengan hadits-hadits yang mereka pilih secara selektif, meskipun para penulis kitab sunan itu tidak mensyaratkan semua haditsnya harus shahih.

4. Tahap Keempat: Penyusunan Kitaab-kitab Induk 'Ulum al-Hadits dan Penyebarannya
Tahap ini bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal abad ketujuh.
Para ulama periode ini menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama sebelumnya yang notabene sebagai perintis dalam pembukuan hadits dan ilmu hadist. Kemudian mereka menghimpun keterangan-keterangan yang berserakan dan melengkapinyadengan berlandaskan keterangan-keteranganulama lain yang diriwayatkan dengn sanad yang sampaikepada pembicaranya, sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama sebelumnya. Lalu keterangan-keterangan itu diberi komentar dan digali hukumnya.
Oleh karena itu, dalam periode ini dijumpai kitab-kitab yang menjadi rujukan para ulama dalam menyusun kitab-kitab sejenis pada periode berikutnya. Diantar kitab-kitab tersebut adalah:
a) Al-muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa'i, karya al-Qadhi Abu Muhammad ar-
7
Ramahurmuzi al-Hasan bin Abdirrahman bin Khallad (w.360 H).
b) Al-Kifayah Fi Ilmi ar-Riwayah, karya al-Khathib al-Baghdadi Abu Bakar bin Ahmad bin Ali (w.463 H.)
c) Al-Ilm' Fi 'Ulum ar-Riwayah wa as-Sima', karya Qadhi 'Iyadh bin Musa al-Yahshubi (w.544 H), suatu kitab yang sangat penting.

5. Tahap Kelima: Kematangan dan Kesempurnaan Pembukuan 'Ulumul al-Hadits
Tahap ini bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abad kesepuluh. Dalam tahap ini pembukuan 'Ulumul al-Hadits mencapai tingkat kesempurnaannya dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadits. Bersama itu dilakukan penghalusan sejumlah ungkapan dan penelitian berbagai masalah dengan mendetail. Para penyusun kitab itu adalah para imam besar yang hapal semua hadits dan mampu menyamai pengetahuan dan penalaran imam besar terdahulu terhadap cabang-cabang hadits, keadaan sanad dan matannya.
Pelopor pembaharuan dalam pembukuan ilmu ini adalah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Hafizh al-Ushuli Abu 'Amr Utsman bin ash-shalah (w.643 H) dengan kitab 'Ulumul al-Hadits-nya yang sangat masyhur itu. Kitab tersebut mencakup keterangan-keterangan yang terdapat diberbagai kitab sebelumnya dan mencakup keterangan-keterangan yang terdapat diberbagai kitab sebelumnya dan mencakup seluruh cabang ilmu hadits. Di samping itu, kitab tersebut memiliki sejumlah keistimewaan sebagai berikut:
a)Kemampuannya menarik kesimpulan yang sangat baik terhadap pendapat dan kaidah yang dikemukakan para ulama.
b)Memberi batasan terhadap definisi-definisi yang ada sambil menguraikannya, juga menjelskan definisi-definisi yang belum pernah dijelaskan sebelumnya.
c)Mengomentari pendapat para ulama berdasarkan hasil penelitian dan ijtihad penyusunnya.
Dengan demikian kitab tersebut sangat sempurna dari sisi penyusunannya dan merupakan perintis pembukuan ilmu ini dengan sistematika baru. Ia sangat diharagai para ulama, sehingga cepat dikenal di berbagai penjuru dunia dan pujian pun mengalir, sehingga murid-murid penyusunnya mempublikasikan gurunya itu dengan sebutan Shahibu Kitab 'Ulumul al-Hadits (penyusun kitab 'Ulumul al-Hadits).
Kitab tersebut merupakan pelopor yang dapat ditiru dan rujukan yang dapat dipercaya, sehingga para penulis berikutnya banyak menginduk kepadanya. Sebagian mereka meringkasnya, sebagian lagi menyusunnya dalam bentuk syair, dan sebagian yang lain mensyarahinya dan melengkapinya dengan catatan kaki. Akan tetapi, para penyusun pada tahap ini adalah para imam besar sehingga mereka tidak mengikutinya dalam menetapkan kaidah-kaidah ilmiah, melainkan mereka berijtihad dan seringkali menyanggah dan menyalahinya.
Di antara kitab penting yang disusun pada tahap ini setelah 'Ulum al-Hadits karya Ibnu Shalah adalah:
  • Al-Irsyad, karya Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi (w.676 H).
  • Al-Tabshirah wa al-Tadzkirah, kitab yang disusun dalam bentuk syair sebanyak seribu bait, karya al-Hafizh Abdurrahman bin al-Husain al-'Iraqi (w. 806 H).
  • At-Taqyid wa al-Iidhah li Ma Uthliqa wa Ughliqa min kitab Ibn ash-Shalah karya al-Hafizh al-'Iraqi.
  • Al-Ifshah 'Ala Nukat Ibn ash-Shalah kitab syarah 'Ulumul al-Hadits, disusun oleh al-Hafizh Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H).
  • Fath ak-Mughits Syarh Alfiyah al-'Iraqi fi 'ilm al-Hadits karya al-Hafizh Syamsuddin Muhammad as-Sakhawi (w. 902 H)
  • Tadrib ar-Rawi Syarah taqrib an-Nawawi karya al-Hafizh Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi (w. 911 H).
  • Nukhbat al-Fikar dan syarhnya Nuz-hat al-Nazhar, keduanya karya al-Hafizh Ibnu Hajat,
Dan kitab-kitab lainnya yang sangat banyak jumlahnya dan sangat banyak yang berkiblat kepada kitab 'Ulumul al-Hadits karya Ibn ash-Shalah.
8
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata,”Begitu besar perhatian umat terhadapnya dan mengikuti langkahnya, sehingga tidak dapat dihitung berapa orang yang menazhamkannya, meringkasnya, melengkapinya, menguranginya, menentangnya, dan yang membelanya.”


6.Tahap Keenam: Masa Kebekuan dan Kejumudan
Tahap ini berlangsung dari abad kesepuluh sampai awal abad keempat belas hijriah. Pada tahap ini ijtihad dalam masalah ilmu hadits dan penyusunan kitabnya nyaris berhenti total. Tahap ini ditandai dengan lahirnya sejumlah kitab hadits yang ringkas dan praktis, baik dalam bentuk syair maupun prosa. Dan para penulis sibuk dengan kritikan-kritikan terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam kitab yang telah ada tanpa ikut menyelami inti permasalahannya, baik melalui penelitian maupun melalui ijtihad. Di antara kitab yang disusun pada tahap ini adalah:
  • Al-Manzhumat al-Baiquniyyah karya umar bin Muhammad bin Futuh Al-Baiquni ad-Dimasyqi (w. 1080 H)
  • Taudhih al-Afkar, karya ash-Shan'ani Muhammad bin Ismail al-Amir (w. 1182). kitab ini cukup komplit dan penting.
  • Syarah Nuz-hat an-Nazhar karya Syekh Ali bin Sulthan al-Harawi Al-Qari'i (w. 1014 H)
Akan tetapi, dalam tahap ini Allah swt telah membangkitkan semangat pengkajian hadits di wilayah india dengan semangat yang cukup tinggi. Kegiatan ini dipelopori oleh al-'Allamah al-Imam al-Muhaddits Syah Waliyyullah ad-Dahlawi (w. 1176 H) dan dilanjutkan oleh anak cucunya serta murid-muridnya. Mereka memprioritaskan perhatiannya terhadap ilmu hadits daripada ilmu-ilmu lainnya. Periwayatan mereka sesuai dengan teori yang disetujui oleh ahli riwayah dan dikehendaki oleh ahli dirayah.
Kitab-kitab hadits dan syarahnya yang disebarkan dari india sebagai bukti kesungguhan kebangkitan dan pengabdian mereka kepada sunnah.

7.Tahap Ketujuh:Kebangkitan Kedua
Tahap ini bermula pada permulaan abad keempat belas Hijriah. Pada tahap ini umat islam terbangkitkan oleh sejumlah kekhawatiran yang setiap saat bisa muncul sebagai akibat persentuhan antara dunia islam dengan dunia Timur dan Barat, bentrokan militer yang tidak manusiawi, dan kolonialisme pemikiran yang lebih jahat dan lebih bahaya. Maka muncullah informasi yang mengaburkan eksistensi hadits yang dilontarkan oleh para orientalis dan diterima begitu saja oleh orang-orang yang mudah terbawa arus serba asing, lalu mereka tururt mengumandangkannya dengan penuh keyakinan.
Kondisi ini menuntut disususunnya kitab-kitab yang membahas seputar informasi tersebut guna menyanggah kesalahan-kesalahan dan kedustaan mereka. Sejalan dengan hal itu kondisi sekarang menuntut pembaharuan sistematika penyusunan kitaab-kitab 'ulum al-Hadits. Maka para ulama berupaya memenuhi tuntutan ini dengan karya masing-masing dan banyak diantara karya-karya ulama pada tahap terakhir ini yang telah dicetak, yaitu:
  • Qawa'id at-Tahdits karya Syekh Jamaluddin al-Qasimi.
  • Miftah as-Sunnah atau Tarikh Funun al-Hadits karya Abdul Aziz al-Khuli.
  • As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri' al-islami karya Dr. Mushthafa as-Siba'i.
  • Al-Hadits wa al-Muhadditsun karya Dr. Muhammad Muhammad Abu Zahw.
  • Al-Manhaj al-Hadits fi 'Ulum al-Hadits karya al-Ustadz Dr. Syekh Muhammad muhammad as-Simahi yang menguasai seluruh cabang ilmu Hadits.
Kitab ini terbagi menjadi empat bagian:
  • Bagian Pertama: Sejarah hadits, terdiri dari tiga jilid
  • Bagian kedua: Musthalah al-Hadits-nya
  • Bagian ketiga: Periwayatan Hadits
  • Bagian keempat: Hal ihwan para rawi
9
Demikianlah upaya para ulama pengabdi sunnah itu berantai dan berkesinambungan dalam jumlah yang mutawattir untuk menerima dan menyampaikan hadits Nabi saw baik dalam bentuk pengetahuan, pengamalan, kajian, maupun dalam bentuk uraian, sejak zaman Rasulullah saw sampai dewasa ini. Sehingga siapapun orangnya setiap saat dapat menemukan jalan untuk mengetahui hadits sahih danmembedakannya dari yang lainnya.














































10
BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa tahap-tahap perkembangan ilmu hadits ada tujuh tahapan, yakni:
  1. Tahap Pertama: Kelahiran Ilmu Hadits
  2. Tahap Kedua: Tahap Penyempurnaan
  3. Tahap Ketiga: Tahap Pembukua Ilmu Hadits Secara Terpisah
  4. Tahap Keempat: Penyusunan Kitab-kitab Induk 'Ulum al-Hadits dan Penyebarannya
  5. Tahap Kelima: Kematangan dan Kesempurnaan Pembukuan Ulum al-Hadits
  6. Tahap Keenam: Masa Kebekuan dan Kemujudan
  7. Tahap Ketujuh: Kebangkitan Kedua
Para sahabat dan ulama menjaga kebenaran atau keaslian hadits Nabi dengan berbagai cara yang mereka tempuh. Salah satu contoh cara sahabat menjaga keaslian hadits yakni dengan cara mereka menempuh jalan jauh sekedar untuk mendengar hadits tertentu dari orang yang mendengarkan langsung dari Rasulullah dan untuk mengetahui karakteristik rawi yang bersangkutan.
Kisah tentang pengembaraan mereka benar-benar mengherankan, sebab untuk mendapatkan satu hadits saja terkadang mereka sampai menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan berbagai resikonya. Misalnya Abu Ayyub al-Anshari mengadakan perjalanan untuk menjumpai Uqbah bin Amir. Kemudian ia berkata: “Ceritakanlah kepada kami hadits yang kau dengar dari Rasulullah dan tidak didengar oleh orang selainmu.” Maka Uqbah berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
Barang siapa menutup aib seorang mukmin didunia, maka allah akan menutupi aibnya dihari kiamat.”
Setelah itu Abu Ayyub menuju kendaraannya dan pulang.
























11
DAFTAR PUSTAKA

  • 'ltr Nuruddin, 1994, 'Ulum al-Hadits 1, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
  • Ismail Syuhudi M, 1992, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: PT. Bulan Bintang
  • Jalaluddin al-Hafizh, 1994, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, Bandung: Balai Pustaka
  • Hasbi ash-shidieqy, muhammad, 1954, Jakarta: Bulan Bintang













































12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar